Cerita yang Tak Pernah Usai - UnforgeTHAIble Moment by Theresia J Christy

blog image

"Pak, bisakah Anda memperlambat tuk tuk ini?" kataku kepada sang supir, di tengah-tengah suara bising kendaraan roda tiga itu dan hiruk-pikuk lalu lintas kota Bangkok. Mendengarku berbicara, ia malah tertawa dan berkata, "Lebih lambat? Hahaha" Tuk tuk pun tetap melaju dengan kencangnya.

Tidak, supir itu bukanlah seorang psikopat seperti di film-film bergenre thriller. Ia hanya tidak ingin mengabulkan permintaanku, entah dengan alasan apa.

Dari kaca spion yang berada di atas kepalanya, aku dan suamiku bisa melihat tawanya yang begitu lebar, hingga giginya yang ompong tampak jelas. Alhasil, kami jadi tertawa bersamanya dan mencoba menikmati perjalanan dari Stasiun Hua Lamphong menuju penginapan kami di Soi Rambuttri, sementara tangan kami memegang erat besi-besi penyangga yang ada di dekat kursi.

Puji Tuhan, kami tiba di tempat tujuan dalam keadaan selamat. Ya, patut diakui kalau si pengendara tuk tuk merupakan supir yang andal dan cekatan, sehingga bisa membawa kendaraan khas Thailand itu meliuk-liuk, meski lalu lintas cukup ramai.

Sudah dua kali kami mengunjungi Thailand dalam lima tahun belakangan. Keduanya tak pernah mengecewakan. Ada saja cerita menarik dan tak terlupakan, yang kemudian menjadi bagian dari kisah perjalanan kami. Bukan hanya terkait dengan objek-objek wisatanya, tapi juga budaya, bahasa, dan bagaimana semuanya bisa menyatu dengan kehidupan modern di sana.

Contohnya, saat bertemu dengan orang lain, mereka selalu mengucapkan salam sambil mengatupkan kedua tangan. Mungkin buat sebagian orang, ini hal yang biasa. Namun buatku, apa yang tetap mereka lakukan hingga sekarang, di kala dunia sudah mengalami begitu banyak perubahan, merupakan hal yang patut diapresiasi, karena dari situ terlihat bagaimana mereka menghargai sesamanya.

Seperti salah satu penjual yang kami temui di Pasar Chatuchak. Sepintas, desain pakaian yang dijual oleh ibu ini terbilang sederhana. Namun, warna unik dari pakaian-pakaian tersebut berhasil membuatku mengunjungi tokonya. Dari perbincangan singkat kami, ia mengatakan kalau produk yang ia jual, diwarnai dengan bahan-bahan alami seperti tanaman kacang-kacangan. Oleh karena itu, harga pakaiannya cukup mahal.

Meski demikian, ia tidak bermaksud menikmati keuntungannya secara pribadi. Katanya, "Di sini saya tidak hanya sekadar menjual, tapi saya ingin memperkenalkan dan memajukan karya orang-orang Thailand. Seperti teknik pewarnaan alami yang kami kerjakan, kami menjual hasilnya di sini, karena mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa inilah tradisi masyarakat di Thailand bagian utara."

Ucapannya langsung terbukti, begitu kami menyudahi obrolan tersebut. Tidak ada raut kekesalan di wajahnya, walau aku tidak berbelanja satu barang pun. Tampaknya, ia memang tulus memberikan penjelasan kepada kami.

Jika mengingat hal itu, aku cukup menyesal karena belum sempat membeli salah satu pakaian yang ia jual. Maklum, waktu itu adalah hari-hari terakhir liburan kami di Negeri Gajah Putih. Artinya, uang di kantong kami juga sudah menipis.

Tetap saja, pengalaman itu sangatlah berharga, suatu hal yang tidak bisa dirasakan ketika kita hanya membaca atau menyaksikannya lewat televisi maupun internet. Melalui komunikasi tatap muka dengan masyarakat lokal, menyaksikan cara hidup mereka secara langsung, mencoba makanan yang mereka santap sehari-hari, aku merasakan adanya interaksi yang lebih mengena dan lebih mendalam, yang akan membuat kita menjadi manusia yang lebih.

Mungkin tidak selamanya kita bisa memahami apa yang mereka ucapkan, tapi dengan berinteraksi, walau harus menggunakan bahasa tubuh sekalipun, ada pelajaran yang bisa kita dapatkan. Seperti saat kami bertanya kepada supir taksi, mengenai bus mana yang akan mengantar kami ke Damnoen Saduak Floating Market. Dari caranya, ia tampak berusaha keras menjelaskan supaya kami tidak tersesat.

Ia tidak bisa berbahasa Inggris, sehingga ia menjelaskan dalam Bahasa Thailand. Ia bahkan menuliskan beberapa kata di buku perjalananku, untuk kami tunjukkan ke penjual tiket bus. Tidak ada satu kata pun yang kami pahami, namun kepedulian dan usahanya membuat kami sangat senang. Kami merasa amat dihargai sebagai turis. Hingga saat ini, ketika aku melihat kembali tulisannya, momen itu kembali teringat dan berhasil membuatku tersenyum.

Masing-masing orang mungkin mempunyai sudut pandang yang berbeda tentang perjalanan yang luar biasa. Ada yang melihat dari sisi kemewahannya, sementara yang lain beranggapan kalau alam yang indah menjadikan perjalanan mereka menakjubkan. Namun, aku sendiri menyukai momen di mana aku merasa bisa menyatu dengan kehidupan masyarakat sekitar. Ini bahkan menjadi seperti candu bagiku. Aku berharap, aku bisa terus mencicipi nikmatnya bertualang sebagai warga dunia.*